Minggu, 27 November 2011

Tugas 3 Bahasa Indonesia

1. Data Publikasi
a. Judul : Sepeda di mana-mana
b. Penulis : Firman Firdaus
c. Penerbit : national geographic
d. Website : http://areahijau.blog.nationalgeographic.co.id/2011/01/sepeda-di-mana-mana/
e. Tanggal : 12 Januari 2011
f. Tema : Lingkungan

2. Sinopsis
Jika mendengar kata sepeda mungkin yang langsung terlintas dipikiran kita adalah suatu alat transportasi non mesin yang memiliki 2 roda. Dibeberapa Negara gaya hidup bersepeda sudah mulai terlihat jelas atau bisa disebut sedang “booming”, hal ini dapat terlihat dari pertumbuhan jumlah sepeda yang jauh melampaui pertumbuhan kendaraan bermotor seperti mobil. Sebagai contoh di negara Italia, China, Belanda , Denmark dan Jerman. Seperti yang diliput oleh Data Earth Policy Institute, produksi sepeda dunia sebesar 94 juta per tahun dalam kurun 1990-2002 telah meningkat menjadi 130 juta pada tahun 2007 melampaui produksi mobil yang sebesar 70 juta.
Di dalam Tanah Air sebuah komunitas atau klub sepeda Kompas-Gramedia telah memiliki anggota lebih dari seratus orang. Sebenarnya alasan yang sering terlontar jika ditanyakan mengapa lebih memilih sepeda sebagai alat transportasi adalah karena sepeda lebih ramah akan lingkungan dengan menekan jumlah emisi karbon. Selain itu, alasan klasik lainnya adalah untuk kesehatan, karena bersepeda dapat mengurangi penyakit-penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, arthritis, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Tetapi ada juga yang hanya mengikuti tren dan gaya hidup yang sedang booming saja.
Tentunya sepeda memiliki tingkat efisiensi yang lebih dibandingkan mobil, karena sepeda tidak terlalu memerlukan tempat yang luas dalam penyimpanan dan juga tidak terlalu memerlukan jalur yang luas, jika dilihat dari sisi efisiensinya enam sepeda bisa termuat dalam lajur jalan yang digunakan oleh satu mobil. Belum lagi untuk parkir, satu spasi parkir untuk satu mobil bisa digunakan untuk memarkir 20 sepeda. Tetapi mungkin para pesepeda harus menunggu lebih sabar untuk mendapatkan infrastruktur yang memadai dalam kenyamanan bersepeda ditempat umum karena pemerintah masih harus berfikir dan bekerja keras bahkan hanya untuk memperbaiki sarana umum yang paling dasar, jalur pejalan kaki. Sebelum memenuhi kebutuhan para pesepeda

3. Keunggulan
Artikel Sepeda di mana-mana mengangkat tema yang sangat menarik pembaca karena penulis menjelaskan fenomena bersepeda yang sedang “ngetren” saat ini. Penulis menjabarkan perkembangan produksi sepeda yang terjadi dibeberapa Negara. Selain itu, penulis juga menuliskan beberapa alasan yang sering dikemukakan oleh masyarakat mengapa lebih memilih sepeda untuk alat transportasi dan juga beberapa manfaat yang di dapat jika menggunakan sepeda, seperti mengurangi emisi gas dan meningkatkan kesehatan. Setelah membaca artikel ini pembaca jadi lebih mengetahui tentang perkembangan komunitas pesepeda dibeberapa Negara dan kendala apa saja yang dihadapi oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan para pesepeda dijalan. Selain itu, pembaca juga lebih mengetahui manfaat memilih sepeda sebagai alat transportasi untuk lingkungan dan untuk kesehatan pribadi.

4. Kelemahan
Penjelasan yang dikemukakan oleh penulis masih menggunakan kata-kata istilah dalah bahasa inggris dan kata-kata dalam bidang kesehatan seperti “grand design” ,“apple to apple” dan “mereduksi obesitas” sehingga pembaca merasa kesulitan dalam memahami makna dalam kalimat tersebut yang disampaikan oleh penulis.

5. Pendapat Akhir
Perkembangan yang pesat pesepeda bisa dibilang dapat membantu dalam mengurangi emisi gas yang terjadi dan juga dapat meningkatkan kesehatan tetapi selain itu juga harus dipikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan para pesepeda ditempat umum. Tetapi hal ini masih kurang efektif jika seseorang memiliki tempat kerja yang jauh dari tempat tinggalnya sehingga masih sangat bergantung dengan kendaraan bermotor untuk mencapai tempat kerjanya

6. Lampiran
Sepeda di mana-mana

DAPATKAH Anda merasakan bahwa belakangan ini di Indonesia—bahkan mungkin di seluruh dunia—sedang terjadi pertumbuhan jumlah pengguna sepeda? Saya dapat. Setidaknya orang-orang terdekat dalam lingkungan pekerjaan dan sekitar rumah saya begitu menggandrungi sepeda dan secara rutin melakukan perjalanan bersepeda.
Meski belum ada data resmi soal jumlah pengguna sepeda reguler di Tanah Air, fenomena yang terjadi setidaknya 2-3 tahun terakhir menunjukkan booming sepeda.
Surat kabar terbesar Indonesia, Kompas, juga memotret momentum ini dan menjadikannya tema utama ulang tahun mereka yang ke-45 tahun lalu. Kelompok Kompas-Gramedia bahkan memiliki klub bersepeda beranggotakan lebih dari seratus orang, dan cukup aktif menyelenggarakan acara bersepeda.
Data Earth Policy Institute menyebut, produksi sepeda dunia sebesar 94 juta per tahun dalam kurun 1990-2002 telah meningkat menjadi 130 juta pada 2007, melampaui produksi mobil yang sebesar 70 juta. Di beberapa negara, pertumbuhan jumlah penjualan ini dibantu oleh anjuran pemerintahnya—disertai insentif menarik—untuk menggunakan sepeda. Contohnya, pada 2009 pemerintah Italia mulai meluncurkan serangkaian program insentif untuk mendorong pembelian sepeda untuk memperbaiki kualitas udara perkotaan dan mengurangi jumlah mobil di jalan, dengan memberikan potongan 30 persen dari setiap harga sepeda.
China juga menunjukkan peningkatan volume sepeda. Pada 2007, jumlahnya mencapai 90 juta, tetapi kini menyentuh 430 juta, meski tingkat kepemilikan rata-rata masih lebih tinggi di Eropa. Di Belanda, satu orang punya lebih dari satu sepeda, dan sebanyak 27 persen dari seluruh perjalanan menggunakan sepeda. Sementara Denmark dan Jerman mendekati satu sepeda per orang, dengan persentase perjalanan sepeda 18 persen (Denmark) dan 10 persen (Jerman).
Capaian-capaian tersebut tentu saja memiliki sebab-sebab. Belanda, Denmark, dan Jerman sebelumnya telah menyiapkan infrastruktur yang bersahabat terhadap para pesepeda: parkir khusus sepeda, integrasi penuh dengan transportasi umum, edukasi lalu lintas yang komprehensif dan pelatihan bagi pesepeda. Di sisi lain, hal ini pula yang membuat negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Inggris memiliki tingkat pengguna sepeda yang rendah: karena minimnya “grand design” dan kebijakan untuk itu, meski mereka sepertinya juga sedang menuju ke sana.
Sebagai sebuah moda transportasi personal, sepeda memang cukup ideal. Apa lagi jika dikaitkan dengan isu lingkungan dan kesehatan. Bersepeda bisa memperbaiki sistem pernapasan, menurunkan polusi udara, mereduksi obesitas, meningkatkan kebugaran fisik. Sepeda juga tidak—secara langsung—mengemisikan karbon dioksida. Saya tulis “secara langsung” karena saya yakin sebenarnya pada tingkat tertentu proses produksi satu buah sepeda pasti memiliki jejak karbon sendiri. Satu hal yang paling penting kenapa sepeda menjadi begitu populer: secara umum harganya terjangkau oleh jutaan orang yang tidak sanggup membeli mobil.
Mengingat bentuknya yang ringkas (dan kini juga menjamur sepeda lipat yang bisa dibuat lebih ringkas lagi), enam sepeda bisa termuat dalam lajur jalan yang digunakan oleh satu mobil. Belum lagi untuk parkir: satu spasi parkir untuk satu mobil bisa digunakan untuk memarkir 20 sepeda. Efisiensi sepeda dalam hal emisi karbon sebagai substituen mobil untuk perjalanan pendek adalah akar pangkat tiga dibandingkan emisi dari mobil.
Membandingkan efisiensi sepeda dengan mobil mungkin terkesan tidak “apple-to-apple“. Akan tetapi, tidak bisa tidak, jika ingin meninjaunya dari sisi upaya penekanan jumlah emisi karbon atau okupasi lahan publik, pembandingan ini mestilah dilakukan.
Dan seperti yang sudah saya singgung di atas, efisiensi sepeda bukan hanya berefek pada lingkungan, melainkan juga kesehatan. Sepeda sangat ideal untuk mengembalikan keseimbangan asupan kalori dan pengeluaran rutin seseorang untuk biaya kesehatan: mengurangi penyakit-penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, arthritis, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Jika negara-negara Eropa (dan China) sudah menyiapkan infrastruktur yang memadai untuk menyambut ledakan sepeda—dan ledakan pertumbuhan ekonomi baru—bagaimana dengan Indonesia?
Kita masih perlu berpikir dan bekerja keras bahkan hanya untuk memperbaiki sarana umum yang paling dasar: jalur pejalan kaki. Hampir seluruh trotoar ibu kota (kecuali jalur protokol Sudirman-Thamrin) sudah diokupasi oleh pedagang dan…motor. Di sebuah jalan utama di Jakarta Barat, trotoar bahkan diratakan untuk menjadi bagian dari lahan parkir sebuah restoran besar, membuat pejalan kaki mesti berhati-hati jika melintas di situ, atau terkena risiko terserempet mobil.
Artinya, terlepas dari menjamurnya pengguna sepeda, pemangku kebijakan sepertinya tidak bisa terburu-buru memenuhi kebutuhan pesepeda sebelum kebutuhan paling hakiki dari jalan, yakni trotoar, dibenahi.
Hal lain yang juga menjadi perhatian saya adalah menjaga paradigma bahwa sepeda adalah modal pengganti kendaraan bermotor. Artinya, penggunaan sepeda idealnya bersifat substitutif, bukan sekadar adisional. Memang, tidak dapat dipungkiri, lanskap dan tata kota di Jakarta kerap memaksa orang memiliki rumah yang jauh dari tempat bekerja, sehingga amatlah berat (walau bukan tidak mungkin) jika orang yang tinggal di Bekasi, misalnya, mesti menggunakan sepeda sehari-hari ke kantor di Kebon Jeruk.
Risiko dari menganggap sepeda sebatas pada moda adisional membuat upaya pengurangan emisi karbon seperti sia-sia, karena pada kenyataannya mereka masih bergantung pada mobil atau motornya untuk perjalanan sehari-hari. Lebih buruk lagi, seperti fenomena yang kerap saya amati, jika sepeda hanya berfungsi sebagai bagian dari tren dan gaya hidup sehingga para pesepeda lebih sering disibukkan oleh gonta-ganti aksesoris dan memikirkan rencana jalan-jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar